-
Suatu Tinjauan Reflektif dan Pemikiran Konsepsional Koperasi Indonesia -
Abstrak
Awal
perkembangannya sebagai badan usaha Koperasi mengalami pasang surut sesuai
dengan situasi politik yang ada. Pada era pemerintahan Orde Baru, Koperasi
sering menjadi alat kekuatan politik untuk mencapai tujuan regim pemerintah
dengan dalih stabilitas pembangunan. Koperasi, khususnya Koperasi Unit Desa
(KUD), sering sebagai kepanjangan tangan pemerintah melalui penyalurkan dana,
atau alat dan bahan pertanian kepada petani. Koperasi sering diberikan
kemudahan-kemudahan dalam menjalankan usaha, sehingga menjadikan koperasi
sebagai badan usaha yang manja, karena hanya bisa berkembang dengan bantuan
pemerintah. Atau dengan kata lain koperasi lebih sebagai alat pemerintah,
ketimbang sebagai kebijakan pemerintah.
Citra
koperasi di masyarakat saat ini identik dengan badan usaha marginal, yang hanya
bisa hidup bila mendapat bantuan dari pemerintah. Hal ini sebenarnya tidak
sepenuhnya benar, karena banyak koperasi yang bisa menjalankan usahanya tanpa
bantuan pemerintah.
Tantangan koperasi ke depan sebagai badan usaha
adalah harus mampu bersaing secara sehat sesuai etika dan norma bisnis yang
berlaku. Pertanyaan yang muncul adalah mampukah koperasi yang selama ini
dimanjakan pemerintah bersaing dengan badan usaha lain? Antisipasi dan strategi
apa yang harus disiapkan oleh koperasi? Tulisan ini, akan mencoba mengungkapkan
konsep kemandirian koperasi sebagai badan usaha dalam menyongsong era
globalisasi dan krisis ekonomi yang sedang terjadi.
Kata kunci : koperasi, badan usaha,kemandirian, pengelolaan, era
globalisasi.
1.
Pendahuluan
Globalisasi ekonomi yang ditandai
dengan proses liberalisasi perdagangan dan investasi ekonomi pasar bebas,
mengharuskan setiap elemen ekonomi untuk melakukan perubahan. Disadari atau
tidak kenyataan akan datangnya era tersebut mengharuskan setiap negara untuk
mengubah arah kebijakan ekonominya. Era globalisasi dalam skema perdagangan
bebas cepat atau lambat mengakibatkan perubahan ekonomi dunia. Dampak lebih
lanjut adalah memaksa perubahan yang dilakukan oleh setiap negara untuk
mengarah pada usaha untuk mengurangi distorsi perekonomian dan harus
meningkatkan efisiensi usaha. Kenichi Ohmae (1999) dalam bukunya: Bordeless World: Power and Strategy in the Interlinked Economy, menekankan bahwa dalam era
globalisasi akan tercipta suatu dunia yang tanpa batas antar negara (bordeless
world), kondisi ini tidak memungkinkan suatu negara „kokoh“ pada nation statenya. Kecenderungan yang
terjadi adalah semakin terintegrasinya perekonomian suatu negara dengan
perekonomian dunia/global. Hal ini menyebabkan fenomena ketergantungan antar
komunitas negara menjadi tidak terelakkan.
Lebih lanjut, era globalisasi sendiri
bertumpu pada tiga pilar, yaitu liberalisasi perdagangan dan investasi,
fasilitas bisnis dan kerja sama dalam bidang tehnik. Kalau ditelusuri lebih
dalam, proses globalisasi ekonomi memperoleh dorongan yang kuat dari dua faktor
yaitu teknologi (komunikasi, transportasi dan komputer dan sebagainya) dan
liberalisasi. Teknologi membuat usaha menjadi lebih efisien dan menekan biaya
dalam peredaran barang dan uang, sedangkan liberalisasi melalui negoisasi
multilateral (WTO) dan bilateral dapat memaksa rintangan (tarif dan non tarif)
menjadi turun bagi perdagangan luar negeri dan investasi (Soejono,
2000).Globaliasi ekonomi mengarah pada semakin mudahnya perusahaan multi
nasional untuk keluar masuk suatu negara. Dengan dukungan teknologi dan investasi
global, kompetisi di era ini akan semakin tajam. Akibat yang diterima oleh
negara sedang berkembang adalah ketidakstabilan ekonomi dalam negeri, karena
keharusan melakukan perubahan mendasar dalam sistem ekonomi dunia tidak dapat
terelakkan.
Jelas bahwa fenomena globalisasi dan
pasar bebas membawa konsekuensi semakin tinggi persaingan dan rentannya
perekonomian atas faktor eksternal. Tentunya kenyataan ini berdampak pada
kinerja pertumbuhan ekonomi suatu negara. Penguatan daya dukung perekonomian suatu
negara terletak pada efektivitas perilaku pelaku ekonomi negara yang
bersangkutan. Semakin efisien pelaku ekonomi bekerja, semakin besar daya
dukungnya terhadap perekonomian negara yang bersangkutan. Pelaku ekonomi utama
yang sering menjadi perdebatan dalam konteks era perdagangan bebas adalah
Koperasi.
Sungguhpun koperasi bukan badan usaha
asli Indonesia, namun demikian banyak kesamaan dengan badan usaha asli
Indonesia minimal dalam unsur-unsur yang dimiliki (lihat Suwandi, 1986). Dilema
yang terjadi adalah, bahwa mengingat koperasi selalu diamanatkan oleh
Undang-undang Dasar 1945, peranan pemerintah akan selalu besar dalam
pengembangan koperasi. Tetapi mengingat bahwa koperasi merupakan kumpulan
orang-orang yang mana prinsip kekuasaan tertinggi berada pada anggota, serta
pengelolaan yang demokratis, maka campur tangan dari pihak luar termasuk
pemerintah yang terlalu dalam, akan dapat mengurangi kebebasan dan kedaulatan
koperasi (Iqbal, M, 1986)
Sementara itu, gerakan koperasi di
banyak negara telah mempunyai atau sedang dalam proses restrukturisasi dan
menyesuaikan pada kondisi dimana tingkat kompetisi begitu meninggi dipermukaan,
pemerintah tidak mempunyai banyak dana untuk mendukung gerakan koperasi
(Kandem, E, 2000). Perkembangan gerakan koperasi Indonesia sendiri mengalami
pasang surut. Berangkat dari lembaga sosial masyarakat koperasi berinteraksi
dengan banyak lembaga yang ada di masyarakat Indonesia. Kondisi ini membawa
konsekuensi bahwa beberapa aspek internal dan eksternal saling berkaitan dan saling
mempengaruhi, seperti misalnya sistem perekonomian yang dianut, kebijakan
pemerintah yang diambil pada periode yang bersangkutan, kondisi sumber daya
ekonomi dan sumber daya alam serta sumber daya manusia, budaya dan nilai-nilai
sosial setempat.
Berhubunganan dengan konsep
pembangunan ekonomi, koperasi masih dipandang sebagai salah satu elemen ekonomi
yang penting dan strategis. Namun demikian, keberadaan dan tumbuh kembangnya
koperasi sendiri masih menjadi perdebatan yang cukup tajam dalam era globalisasi.
Mengacu pada ‘Theory of Dualitic Economy’ dari Boeke yang didasarkan pada kasus
Jawa dimasa pemeritahan kolonial Belanda, dihipotesiskan bahwa kesulitan pokok
dalam membangun masyarakat dunia ketiga terletak pada fakta bahwa perekonomian
wilayah ini bersifat dualistik, yang ditandai oleh adanya dua kutub
perekonomian secara bersamaan, yaitu sektor modern dan sektor tradisional, yang
masing-masing kekuatan yang sangat berbeda. Sektor modern tunduk pada kekuatan
pasar (governed by market forces), sektor tradisional tunduk pada
kekuatan nonpasar, yaitu sosial budaya (governed by social-cultural forces) (Hutagaol, 1996). Masih dalam taraf berdebatan yang rumit, koperasi
Indonesia diakui atau tidak lebih difokuskan untuk pembangunan pada sektor
marginal, seperti sektor pertanian dan sektor informal yang masih bergerak
dengan fasilitas yang sangat miskin teknologi dan informasi. Koperasi dianggap
alat yang paling tepat untuk memberikan kesempatan kepada sektor tradisional
ini untuk berintegrasi dengan masyarakat modern. Karena pada hakekatnya
koperasi adalah gerakan masyarakat, maka terdapat anggapan umum bahwa inisiatif
tidak akan timbul jika tidak ada program khusus dari pemerintah. Karenanya,
dikebanyakan negara sedang berkembang peranan pemerintah tampak menonjol, yang
mengakibatkan ketergantungan dan kegagalan koperasi untuk mandiri (Soetrisno,
Noer, 1992). Kenyataan ini telah lama tampak jika memperhatikan gerakan
koperasi dan pembangunan sendiri merupakan tema klasik di negara dunia ketiga,
apalagi dalam dunia koperasi internasional (Develtere, P, 1994).
Sebagai bagian dari sistem ekonomi
Koperasi memerlukan kesempatan untuk bekerja sebagai suatu sistem dalam rangka
memberikan gerakan untuk mandiri (otonom) (Scholz and Walsh, 1992). Prinsip
otonomi sebagai pengejawantahan dari sikap mandiri suatu koperasi, merupakan
hal yang mutlak diperlukan untuk perkembangan koperasi di kemudian hari. Karena
secara tidak langsung otonomi merupakan hal yang mutlak diperlukan untuk
menegakkan prinsip-prinsip koperasi, demokrasi dalam koperasi dan kemandirian
dalam koperasi berikut implikasinya (Nasution, 1992).
Krisis ekonomi yang berkepanjangan,
secara langsung atau tidak langsung telah mempengaruhi struktur dan roda
perputaran ekonomi nasional. Dapat dipastikan hampir semua sektor yang
berkaitan dengan kegiatan ekonomi terkena dampaknya, sehingga wajar kalau
banyak pengusaha yang menutup usahanya. Namun sebaliknya, bagi usaha kecil dan
menengah (UKM) dan koperasi terbukti mampu untuk bertahan ditengah krisis
ekonomi yang terjadi. Tesis sementara yang mungkin dapat dimunculkan daya tahan
badan usaha ini ternyata tidak serentan badan usaha lainnya yang lebih modern
dan besar. Namun demikian, tantangan-tantangan bagi koperasi saat ini adalah
menjamin untuk menciptakan lingkungan yang memperbolehkan masyarakat dalam
menyumbangkan kemampuan dan menciptakan pemecahan-pemecahan yang inovatif
terhadap masalah-masalah lokal. Hal ini memerlukan koperasi yang terbuka dan
fleksibel untuk membangun model-model baru koperasi (Scholz and Walsh, 1992).
Jelas bahwa, lingkungan dunia usaha yang berubah dengan cepat saat ini menuntut
untuk selalu fleksibel dan inovativ. Keberlangsungan hidup koperasi mempunyai
dimensi ekonomi maupun kelembagaan. Keberlangsungan hidup secara ekonomi tergantung
pada apakah organisasi koperasi itu mandiri secara ekonomis dan inovatif.
Keberlangsungan hidup kelembagaan tergantung pada apakah koperasi benar-benar
menerima asas-asas perkoperasian, khususnya kontrol terhadap demokratis,
keanggotaan yang terbuka dan sukarela.(McCarrel, 1992).
2 Masalah dan Tujuan
Penulisan
Menghadapi persaingan bebas di era
globalisasi ekonomi dinilai sudah menjadi kebutuhan yang mendesak untuk
mempertanyakan kembali keberadaan koperasi ditengah dua situasi ekonomi ektrem
yang terjadi, yaitu era perdagangan bebas atau globalisasi ekonomi dan krisis
ekonomi Indonesia yang berkepanjangan. Koperasi dengan prinsip dan nilai-nilai
yang dianut mau tidak mau dihadapkan pada permasalah ini. Hal ini telah menjadi
perdebatan klasik pakar koperasi (lihat: Jeon, J, 2000). Prospek masa depan
koperasi sebagai badan usaha yang diharapkan menjadi soko guru perekonomian
seperti amanat konstitusi negara (UUD 45) sangat ditentukan oleh mampu tidaknya
kemandirian (otonomi) dilaksanakan untuk menjawab tantangan dan ancaman.
Secara spesifik tulisan ini menelaah
masalah sejauh mana kesiapan koperasi dalam menghadapi tuntutan yang berkembang
di era globalisasi ekonomi tersebut? Bagaimana antisipasi dan strategi yang
tepat untuk badan usaha Koperasi dalam menjawab tantangan era globalisasi ini?
Tulisan ini berusaha menjawab
pertanyaan diatas terbatas hanya merupakan pemikirankonsepsional. Sehingga
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kesiapan koperasi, berupa
tingkat kemandirian koperasi menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan
menjelang era perdagangan bebas tersebut. Disamping itu juga bertujuan untuk
mengetahui antisipasi dan strategi yang juga akan dirumuskan secara konseptual
untuk mengembangkan kemandirian koperasi.
3. Kemandirian Koperasi menyongsong Era Perdangan
Bebas
Secara historis,
gerakan koperasi telah merupakan satu strategi pembangunan yang penting dari
pemerintah negara-negara yang sedang berkembang, setelah negara-negara itu
memperoleh kemerdekaan politik mereka masing-masing. Bagi para pengelola
pembangunan dari negara-negara itu, koperasi merupakan salah satu sarana
ekonomi untuk yang diharapkan dapat memecahkan program sosial ekonomi yang
diwariskan oleh kolonialisme kepada pemerintah negara-negara tersebut
(Sutrisno, Lukman, 1984). Namun demikian disadari, koperasi sebagai organisasi
mengalami beberapa fase perkembangan. Koperasi mempunyai sejarah yang begitu
lama untuk berkembang, tidak saja di Eropa tetapi juga pada beberapa negara
sedang berkembang, meskipun imigran, misionaris dan perorangan atau organisasi
privat telah bekerja sebagai inisiator, pekerja pemerintah maupun lembaga parastatal telah mempunyai
peranan penting dalam mensponsori berkembangnya koperasi modern di banyak
negara sedang berkembang (Hanel, A, 1992).
Sementara itu, L
Valko, mengemukakan tingkat-tingkat perkembangan koperasi dalam 3 tingkatan,
yaitu tingkat yang masih dalam pertumbuhan, tingkat dalam tarafpembangunan dan
dalam tingkatan yang telah matang.Untuk itu, ditandai dengan keikutsertaan
pemerintah dalam pembangunan koperasi.Pada tingkatan yang telah matang
pemerintah sudah tidak terlalu ikut lagi. Tetapi pada tahap pembangunan
pemerintah masih layak ikut serta. (Suwandi, Ima, 1984). Dalam pandangan
Thornley (1981) bahwa koperasi hendaknya mampu untuk bertahan hidup dengan
keharusan untuk tidak saja dapat bertahan dalam kendala pasar, tetapi koperasi
harus dapat merepresentasi tantangan akan kekurangan modal. Khususnya dalam
koperasi pekerja, hal ini merupakan perdebabat yang sangat unik. Disamping itu
penekanan pada analisis pentingnya koperasi membangun kekuatan aliasi politik
dan dapat menjadi organisasi yang dapat menjembati luasnya kekuatan pasar
(Conforth, et. al, 1988).
Tantangan
koperasi dimasa depan adalah mampu bertahan di era globalisasi. Untuk mampu
bertahan tentunya koperasi harus instropeksi atas kondisi yang ada pada
dirinya. Tidak saja melihat situasi yang berkembang diluar, namun yang lebih
penting adalah mampu untuk melihat kenyataan yang ada pada dirinya. Jati
dirikoperasi menjadi tantangan besar dalam era globalisasi. Tidak dapat
dipungkiri bahwa hanya dengan mengenal jati diri koperasi secara benar maka
kemungkinan bersaing dengan badan usaha lain akan terbuka. Jelas bahwa ditinjau
dari sudut bentuk organisasinya, maka organisasi koperasi adalahSHO (self-help
organisasi).Intinya koperasi adalah badan usaha yang otonom. Problemnya adalah
otonomi koperasi sejauh ini menjadi tanda tanya besar. Karena bantuan
pemerintah yang begitu besar menjadikan otonomi koperasi sulit terwujud. Dalam
dataran konsepsional otonomi Koperasijuga mengandung implikasi bahwa badan
usaha koperasi seharusnya lepas dari lembaga pemerintah, artinya organisasi
koperasi bukan merupakan lembaga yang dilihat dari fungsinyaadalah alat
administrasi langsung dari pemerintah, yang mewujudkan tujuan-tujuan yang telah
diputuskan dan ditetapkan oleh pemerintah (Rozi dan Hendri, 1997).
Dinegara berkembang termasuk Indonesia otonomi ini merupakan masalah
konroversial, karenaterjebak dalam isu tentang hak pemerintah dan hak
masyarakat dalam menentukan batas yang seimbang dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat. Masalahnya berkisarpada demokrasi dan hak asasi manusia
(Soejono, 1992). Lebih lanjut, Soejono menyimpulakan bahwa ketidakpastian
batas-batas otonomi tercermin pula dalam kehidupan perkoperasian di Indonesia.
Otonomi sebagai kemandirian, kemerdekaan dan kebebaskan tidak pernah mempunyai
arti mutlak karena dalam pelaksanaanya selalu dibatasi oleh interaksi
lingkungan dengan lingkungannya sendiri terutama sikap pemerintah yang
mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan koperasi. Contoh ikut sertanya
pemerintah yang begitu besar dalam gerakan koperasi Indonesia dapat dilihat
dari gerakan Koperasi Unit Desa selama ini.
Permasalahan penting dalam otonomi adalahmenjamin bahwa otonomi tersebut
melibatkan seluruh aspek gerakan, tidak hanya pada koperasi primer. Dan juga
harus diperhatikan dalam proses menuju kemandirian (otonomi) memerlukan waktu.
Namun demikian haruslah direncanakan secara matang dan strategis. Untuk itu
dukungan elemen masyarakat juga sangat dibutuhkan, misalnya peran LSM. Contoh
sukses LSM dalam membina koperasi dapat diwakili oleh The Sadguru and
Developing Foundation di Gujarat (India), dimana telah membina lebih 200
koperasi primer dan mampu mengenerate pekerjaan
dan pendapatan. Begitu pula halnya dengan SEWA (juga satu LSM di India), juga
telah mampu untuk membantu kelompok perempuan miskin untuk mampu mengorganisasi
sebuah koperasi dalam memberi pinjaman mikro untuk modal usaha (ILO,
2000).Berkaca pada kenyataan diatas, maka sedikit jelas bahwa koperasi
Indonesia masih menyimpan pekerjaan rumah yang sangat berat, jika dikaitkan
sebagai badan usaha otonom untuk menyejahterakan rakyat sebagaimana amanat
konstitusi.